Suara
mereka di bungkam
Nyawa mereka di ujung senjata
salah sapa?
bergerak saja tak bisa, apalagi bekerja,,
mereka itu muslim
tapi diperlakukan seperti binatang!
lembaga Internasional kemana?
miris, dunia islam hanya menatap dalam diam
tak peduli dengan penderitaan yang berakhir dengan kematian..
(Raudhatun hafizah)
Nyawa mereka di ujung senjata
salah sapa?
bergerak saja tak bisa, apalagi bekerja,,
mereka itu muslim
tapi diperlakukan seperti binatang!
lembaga Internasional kemana?
miris, dunia islam hanya menatap dalam diam
tak peduli dengan penderitaan yang berakhir dengan kematian..
(Raudhatun hafizah)
1.
Etnis Rohingya
Rohingya adalah
nama kelompok etnis yang kebanyakan beragama Islam dan tinggal di negara bagian
Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi
(778 M). ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari
kata “Rohan” atau “Rohang”. Versi lain menyebutkan bahwa istilah Rohingya disematkan oleh
peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad ke 18 kepada penduduk muslim yang
tinggal di Arakan.
Etnis Rohingya
tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi
jajahan Inggris. Ketika Arakan berada di bawah aneksasi Inggris banyak orang
India dan Bangladesh yang melakukan migrasi ke Arakan, dan sejak kemerdekaan
Burma (sekarang Myanmar) pada 4 Januari 1948, pemerintah telah menyatakan
migrasi tersebut adalah illegal dan menyatakan bahwa Rohingya adalah keturunan
Bengali serta menolak untuk mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara
Myanmar. Sehingga setelah negara itu merdeka,
etnis Rohingya terus mendapat perlakuan buruk dan kerap mengalami kekerasan dan
diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang
eksis di Myanmar dari 136 etnis.
Etnis Rohingya
bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali, banyak orang Rohingya yang
merupakan keturunan campuran dari orang Arab dan warga lokal. Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di
sisi Timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke 8
Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada
tahun 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada
abad 15-18), dan Buddhist.
Saat ini Arakan
adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi barat
laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Namun etnis Rohingya mengalami
intoleransi oleh karenanya mereka dianggap berbeda. Karena agama berbeda
(muslim), identitas etnis berbeda, serta memiliki ciri-ciri fisik plus bahasa
yang berbeda. Oleh karenanya mereka (Rohingya) selalu menjadi subjek penyiksaan
sejak tahun 1962 ketika Rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan
Burma. Rezim milter Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikan
kewarganegaraan Myanmar kepada Rohingya. Lebih buruk lagi ia memasukkan
Rohingya pada daftar hitam.
Sejatinya,
etnis Rohingya tidak sekali-kali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union
of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian warga negara Myanmar
yang berhak hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Saai ini Populasi orang Rohingya diprediksi
sekitar 1,5 juta-3 juta jiwa. Dimana 800.000-an tinggal di Arakan dan sisanya
menyebar di banyak negara. Banyak orang Rohingya yang mengungsi dan mencari
perlindungan ke negeri seberang dengan menjadi “manusia perahu” . sedangkan,
mereka yang bertahan di Arakan tidak sedikit yang menjadi korban “pembersihan
etnis”.
Undang-Undang
Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis yang
diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga bermakna penghilangan
dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal hak untuk bebas bergerak dan
berpindah tempat; hak untuk menikah dan memiliki keturunan; hak atas
pendidikan; hak untuk berusaha dan berdagang; hak untuk bebas berkeyakinan dan
beribadah; serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.
Sedangkan,
kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dialami
oleh etnis Rohingya antara lain: pembunuhan massal dan sewenang-wenang;
pemerkosaan; penyitaan tanah dan bangunan; penyiksaan; kerja paksa dan
perbudakan. Saat ini ada 1’5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal
terlunta-lunta di luar Arakan/Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di
Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Indonesia dan
lain-lain.
Namun kekerasan
di Arakan terhadap etnis Rohinya ini mulanya tidak diketahui oleh dunia. Hanya
media-media lokal yang antimuslim yang dapat beroperasi dan menyebarkan
informasi-informasi yang palsu. Petugas kemanusiaanpun banyak yang dihalangi
untuk ke Arakan bahkan di tangkap. Pemerintah Myanmar memberi peringatan kepada
PBB dan organ organnya, UNHCR dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk melakukan
kegiatan kemanusiaan di Arakan. Dengam minimnya media yang independen dan
informasi yang akurat, ekstrimis Rahkine amat leluasa untuk melakukan kejahatan
Genosida tanpa diketahui oleh public dunia.
Yang
memprihatinkan, president Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Ia menginginkan
supaya etnis Ronghiya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga
yang mau menampungnya. Bahkan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi tetap
diam tak bereaksi terhadap kasus Rohingya. Jiran terdekat Arakan yaitu
Bangladesh juga tidak menginginkan Pengungsi Rohingya yang meminta perlidungan
dari mereka. dan mengirim orang Rohingya untuk kembali ke laut, bahkan
lembaga-lembaga kemanusiaan Internasional penolong Rohingya dilarang beroperasi
di Bngladesh. Akhirnya nasib pengungsi tersebut sama halnya dengan nasib orang
Rohingya yang tinggal di Arakan.
Systematical
operational yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya
adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha 969. Kelompok ekstrimis ini
dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis etnis
minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. Terlebih sekarang semakin
semakin nyata upaya eliminasi sistematis yang dilakukan pemerintah, dimana
baru-baru ini muncul Rohingya Elimination Group (kelompok Pengeliminasi
Rohingya) di Myanmar yang tentu saja di dalangi oleh kelompok Ekstrimis 969.
Diskriminasi
yang berujung eliminasi etnis Rohingya di Arakan sudah dimulai sejak adanyanya
pperjanjian penyatuan etnis Myanmar pada tahun 1947 dalam rangka menyongsong
kemerdekaan Myanmar tahun 1948, dimana pada saat itu etnis Rohingya tidak
dilibatkan dan tidak ikut menandatangani Perjanjian Penyatuan tersebut.
Akibatnya etnis Rohingya menjadi etnis yang tidak diakui di Myanmar.
2.
Faktor Penyebab
Konflik etnis Rohingya
Penyebab timbulnya konflik dan mengapa konflik tersebut tidak
terselesaikan adalah karena beberapa faktor:
Pertama, faktor SARA, bahwasanya pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai
etnis Myanmar karena mereka keturunan asli Bengali (Bangladesh). Disamping itu
kelompok ekstrimis 969 melakukan provokasi kebencian terhadap Islam dengan
mengatakan bahwa Islam adalah ancaman buat umat Budha. Mereka menyatakan bahwa
mereka khawatir jika Myanmar akan seperti Indonesia, yang dulunya negara dengan
kerajaan Hindu-Budha dan sekarang menjadi negara Islam mayoritas dan terbesar
di dunia, sehingga Islam harus dieliminasi dari bumi Myanmar.
Kedua: faktor ekonomi, bahwasanya sendi-sendi perekonomian Myanmar
dikuasai oleh pebisnis dan pedagang muslim dengan kedai-kedainya yang
menggunakan simbolnya 789 (basmallah), sehingga kondisi ini menimbulkan
ketegangan sosial. Kelompok ekstrimis kemudian menghancurkan kedai-kedai 789
milik muslim di Arakan. Selain itu, wilayah Arakan kaya akan sumber gas dan
sumber daya alam lainnya, yang menjadi perebutan negara-negara adidaya.
Ketiga, faktor sosial budaya, bahwasanya banyak wanita Myanmar yang menikah
dengan laki-laki muslim dan kemudian menjadi mualaf. Kelompok ekstrimis dan
pemerintah tidak menyukai hal tersebut dan melarang wanita Myanmar menikah
dengan lelaki muslim Rohingya . Di samping itu, kebiasaan lelaki Myanmar suka
mabuk dan tidak sayang terhadap istri dan keluarga, sehingga hal tersebut
menjadi alasan wanita Myanmar lebih suka menikah dengan lelaki muslim yang memiliki
sifat sebaliknya.
Keempat, faktor politik, bahwasanya konflik yang ada di Arakan merupakan
project bagi pemerintah sehingga konflik tersebut sengaja dipelihara untuk
mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. Disamping itu, Myanmar akan
menjelang pemilihan umum pada tahun 2015, sehingga konflik ini sengaja
dipelihara oleh elit politik dan pemerintah untuk kepentingan pemilu dalam
mencari dukungan dari Buddhist.
3.
Puncak
Diskriminasi etnis Rohingya
Menurut laporan
The New Light of Myanmar , sebuah koran yang
terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni2012, konflik Rohingya bermula dari
sebuah pembunuhan seorang gadis Budha bernama Ma Thida Htwe yang berumur 27
tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye,.Pada
tanggal 28 Mei 2012 sore, Thida hendak
pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sebuah Taylor. Tepat pukul 17:15
waktu setempat, ia ditikam oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau
samping jalan tanggul menuju Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan
Chaungwa.
Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan
setelah penyelidikan ditetapkan beberapa tersangka. Mereka adalah Htet Htet (a)
Rawshi, Rawphi, dan Khochi, Hasil investigasi menyebutkan bahwa Htet Htet (a)
Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa
Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Saat itu, dia sedang
membutuhkan uang untuk menikahi seorang gadis. Untuk itulah dia bersama kedua
rekan tersangka lainnya merampok perhiasan yang dikenakan seorang gadis
tersebut dan kemudian dibunuhnya. Berita ini menyebar luas dikalangan penduduk
sekitar. Untuk menghindari kerusuhan rasial, tim MPF yang memantau situasi di
sana mengirim ketiga pemuda tersebut ke penjara pada pukul 10:15 tanggal 30Mei.
Yang
terbit pada hari berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa
beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik bahwa
sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda
Bengali Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam
beberapa kali dan organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan pisau.
Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama Budha. Dengan
dalih bahwa Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar, meraka yang terprovokasi
melakukan penindasan-penindasan terhadap Rohingya. Mereka
tidak menginginkan kehadiran etnis tersebut di bumi Arakan.
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni 2013
memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa
Arakan sebagai beriku: “Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh
kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu
Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi
pada 4 Juni kepada penduduk lokal ditempat- tempat ramai dTauggup, disertai
foto Ma Thida Htwe dan, memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh
dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar
bahwa ada mobil yang berisikan orangMuslim dalam sebuah bus yang melintas dari
Thandwe ke Yangoon dan berhenti diTerminal Bus Ayeyeiknyein. Petugas terminal
lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangoon dengan segera. Bus berisi
penuh sesak oleh penumpang. Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor
mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300
orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas
Muslim keluar dari bus.
Dalam bentrokan itu,
sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur. Konflik
sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arakan, Burma,
muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Halini
dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan
antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama
Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah
lagi agama yang berbeda. Mereka menganggap etnis Rohingya itu "pendatang
haram" dari Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada
ditanah itu (Rakhine state) selama ratusan tahun berdampingan dengan
burmanese lainnya.
Kemudian konflik
antar dua kelompok tak terhindarkan,
terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena jumlahnya
sedikit dan beratusan tahun terpinggirkan, ratusan desa muslim dibakar dan
dihancurkan dan sekitar 850-1000-an warga tewas. Sekitar 90.000-an lainnya
terusir atau tetap menetap dalam penderitaan. Itulah sekelumit fakta konflik
yang melanda Muslim Rohingya. Etnis Rohingya tidak diakui pemerintah junta militer, mereka
tak diberi kartu identitas warga negara.
4.
Pembersihan Etnis Sebagai Kejahatan Genosida
Kekerasan yang
terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya membuktikan tidak semudah yang
diharapkan dunia Internasional terhadap penghapusan Kejahatan Internasional,
dimana Konvensi yang mengatur mengenai Genosida sudah diberlakukan dan
Peradilan Pidana Internasional sudah didirikan; namun Kejahatan Internasional
tetap saja terjadi bahkan dengan berbagai macam cara.
Dalam dunia
Internasional, masalah Genosida sudah ada aturan bakunya di mana pada tanggal
09 Desember 1948, satu hari sebelum The Universal Declaration of Human Righ (UDHR)
diumumkan, sidang umum PBB secara mutlak menerima Konvensi tentang Pencegahan
dan Penghukuman Kejahatan Genosida, sebagai Instrumen Internasional Hak Asasi
Manusia yang pertama.
Genosida
tergolong sebagai kejahatan Internasional (Internasional Crime), seperti
halnya kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime
Against Humanity); kejahatan Agresi (Crime of Agression). Merupakan
kewajiban seluruh masyarakat Internasional untuk mengadili ataupun menghukum pelakunya.
Tujuan Konvensi Genosida dirumuskan dengan kehendak untuk melawan dan mencegah
terulangnya Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violence of
human rights), yang terjadi pada perang dunia II.
Dalam pasal 6
Konvensi Genosida menyebutkan bahwa orang yang melakukan Genosida atau tindakan
lain akan diadili oleh Pengadilan yang berkompeten oleh Negara dimana
Pengadilan pidana internasional yang berwenang dan yuridiksinya diterima oleh
Negara Pihak.
Dalam Pasal 2
Konvensi Genosida menyatakan: setiap dari perbuatan-perbuatan berikut yang
dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian,
suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau
agama seperti:
a)
Membunuh
para anggota kelompok;
b)
Menyebabkan
luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;
c)
Dengan
sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan
fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian;
d)
Mengenakan
upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah didalam kelompok itu;
e)
Dengan
paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain.
Dalam Konvensi genosida menegaskan siapa-siapa saja yang dapat dikatakan melakukan tindakan genosida sebagaimana diatur pasal 4 Konvensi yang menyatakan orang-orang yang melakukan genosida atau setiap perbuatan lain yang disebut dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka para penguasa yan bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat Negara, atau individu-individu biasa.
Maka sudah
ssatnya dunia Internasional terlibat aktif dalam menangani pembersihan etnis
yang mengarah kepada Kejahatan Genosida di Myanmar yang semakin lama semakin
meluas. Apabila dunia Internasional tidak mensikapi kedukaan etnis Rohingya ini
secara serius, bukan tidak mungkin suatu waktu etnis Rohingya tidak akan dijumpai
lagi dalam peta dunia, karena mereka stateless (tidak diakui
kewarganegaraannya) forgetten (dilupakan).
5.
Manusia Perahu dan Tanggung jawab Dunia
Pada akhir
tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi manusia
perahu (boat people), mencari keselamatan ke negeri lain. Sekitar Bulan
Desember 2008, 1200 warga Rohingya
meninggalkan Myanmar, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan
ditampung sementara di Aceh. Tanggal 11/02/2009 nelayan asal Aceh menyelamatkan
220 “manusia perahu”. Bulan Juli 2012
Indonesia mendapati lagi 82 pengungsi Rohingya (13 diantaranya
anak-anak) terdampar di kepulauan Riau dan kini di tahan di Rumah Detensi
Imigrasi (Rudenim) Tanjung Pinang. Saat bersamaan ada sekitar 300.000 pengungsi
yang lari ke Bangladesh, Thailand, Malaysia, Pakistan, India , Timur Tengah,
Jepang dll.
Namun kondisi
warga Rohingya di pengungsian sama mengenaskan-nya dengan saudaranya yang
berada di Arakan. Dimana-mana mereka disebut pendatang haram maupun pendatang
illegal. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di forum internasional
pada juli 2012 supaya Rohingya mencari negara lain saja atau PBB mencarikan
tempat penampungan lain di luar Myanmar.
Kondisi seperti
ini sudah seharusnya ada pihak yang bertanggung jawab, Tanggung jawab utama dan
pertama terletak pada negara Myanmar. Karena meperjuangkan Myanmar yang bebas
berkeadilan takkan sempurna tanpa mengakui eksistensi warga Rohingya dan warga
minoritas lainnya di Myanmar.
Tanggung jawab
kedua adalah pada badan-badan
internasional seperti PBB dan ASEAN. Karena Myanmar adalah negara anggota PBB
maupun ASEAN. Bahkan Sekjen PBB prnah berasal dari Myanmar (U Thant, 1961-1971)
dan tahun ini Myanmar memegang tampuk kekuatan ASEAN.
Tanggung jawab
berikutnya adalah negara-negara tetangga yang berdekatan. Seperti Bangladesh,
India, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Namun tidak semua negara mau
menampung mereka, padahal dalam Konvensi tentang status pengungsi 1951 menyebutkan
bahwa negara penerima tidak boleh menolak dan mengembalikannya
pengungsi/pencari suaka ke negerinya ketika kondisi di negerinya membahayakan
untuk keselamatan para pengungsi tersebut.
Tanggung jawab
keempat adalah pada negara-negara berpendudukan muslim. Warga Rohingya adalah
muslim yang sejarah keislamannya sudah berlangsung sejak abad ke 14 M. Dan
sampai kini mereka muslim dan tetap bersemangat dalam ibadah. Wlaupun masjid
dan mushala yang ada dihancurkan dan otoritas yang berkuasa melarang pembangunan
masjid yang baru.
Negara-negara
berpendudukan muslim dan anggota OKI (organisasi Konferensi Islam), seharusnya
mengambil peran yang lebih efektif dan positif terhadap muslim Rohingya.
Uniknya hanya sedikit para pengungsi tersebut untuk memilih mengungsi ke
negeri-negeri muslim yang lain. Mereka mencari suaka ke negeri-negeri barat
yang notabene sekuler.
6.
Sikap Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
Namun terkait
Indonesia sendiri ada beberapa permasalahan yang mucul mengenai warga Rohingya
yang berada di Indonesia, permasalahan pertama yang muncul dari dalam antara
lain bahwa Indonesia samapai saat ini belum memiliki regulasi yang jelas
mengenai penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk Negara
anggota peratifikasi Konvensi Wina tahun 1951 dan protokolnya tahun 1967 tentang status pengungsi sehingga Indonesia
tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional
terhadap imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia.
Implikasinya,
Indonesia hanya bisa menampung para imigran tersebut sampai batas waktu
maksimal 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi Indonesia di dalam undang
keimigrasiannya tidak mengenal istilah pencari suaka maupun pengungsi. Sehingga
semua orang asing yang datang ke Indonesia (pencari suaka, pengungsi, atau
pelaku kejahatan) yang tidak memiliki dokumen resmi maka dikualifikasikan
sebagai imigran gelap dan mereka yang
tertangkap ditahan di RUDENIM (Rumah Detensi Imigran) yang sama.
Dari hasil
penulusuran mengapa Indonesia belum mau meratifikasi Konvensi Wina, bahwa
prinsip yang melekat dalam sistem Keimigrasian Indonesia seharusnya adalah
orang-orang yang memberi manfaat bagi Indonesia, dan bukan sebaliknya.
Indonesia khawatir bahwa jika meratifikasi Konvensi tersebut akan berdampak
pada stabilitas keamanan dan para Imigran akan berbondong-bondong datang ke
Indonesia untuk mencari suaka.
Dalam
prakteknya, meskipun tidak meratifikasi Konvensi Wina 1951, Indonesia
mengimplementasikan dalam beberapa peraturan administratifnya mengenai
penanganan pengungsi secara subtansial yaitu antara lain Surat Edaran Perdana
Menteri No. 11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian
Politik, Keputusan Presiden N0. 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian
Masalah Pengungsi Vietnam, Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan
Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, dan Keputusan
Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M.05.H.02.01 Tahun 2006 Tentang Rumah
Detensi Imigran.
Selain
permasalahn dari dalam, permasalahan dari luar juga muncul, yaitu antara lain:
a.
Sulitnya
proses pemulangan ke Myanmar karena kondisi keamanan yang semakin buruk;
b.
Kedutaan
Myanmar di Indonesia sama sekali tidak peduli dan tidak mengakui Rohingya
sebagai warga Negara Myanmar;
c.
Rohingya
tidak mempunyai paspor sehingga menjadi kendala dalam proses assessment utnuk
menjadi pengungsi internasional ;
d.
Rohingya
tidak mau dipulangkan karena kondisi keamanan Myanmar;
e.
Belum
ada negara ketiga yang mau menampung pengungsi Rohingya;
f.
Lamanya
rohingya ditampung di Indonesia menjadi beban Negara;
g.
Rohingya
banyak uang menikah dengan wanita di Indonesia dan mempunyai anak dan berharap
bisa menjadi WNI;
h.
Banyak
Rohingya yang memiliki kartu pengungsi UNHCR palsu;
i.
Imigran
Rohingya tidak bisa berbahasa Melayu maupun Inggris sehingga sulit dalam
melakukan tindakan keimigrasian.
7.
Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Hukum Internasional
a.
Pengertian Pencarian Suaka
“Suaka adalah tempat perlindungan yang
diberikan oleh suatu Negara di wilayah atau di tempat lain yang berada dibawah
pengawasan organnya, kepada seseorang yang datang memintanya”
Peraturan
tentang Pencari Suaka ini ada dalam berbagai peraturan, bahkan termasuk Pasal
28 G UUD 1945 yang menyatakan hak seseorang untuk mencari suaka di negara lain
dan TAP MPR No. XVII.MPR/1998 yang mengakui keberadaan DUHAM termasuk Pasal 24 tentang hak seseorang untuk
mencari suaka di negara lain. Selain itu pengaturan tentang suaka ini juga
secara eksplesit diatur dalam Undang-Undang, yaiyu UU pengesahan Conventtion
Agaisnt Torture (CAT) dan UU Hubungan Luar Negeri (Hublu).
Lemabaga suaka memiliki karakteristik:
1)
Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh
seseorang sebagai hak;
2)
Hak seseorang hanya terbatas pada mencari
suaka dan kalau memperolehnya, menikmatinya;
3)
Pemberian
asal pencari atau penolakan suaka adalah hak negara-negara berdasarkan kedaulatannya;
4)
Pemberian
suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan
humaniter, oleh karenanya pemberian suaka oleh suatu negara tidak boleh
dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap negara asal pencari suaka;
5)
Suaka
mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai berikut:
(i)
Larangan
pengusiran
(ii)
Larangan
pengambilan paksa ke negara asal
(iii) No ekstradisi pesuaka
6)
Bilamana
suatu negara mengalami kesulitan untuk
memberikan suaka kepada seseorang secara permanen, atau jangka waktu panjang,
negara tersebut setidak-tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari
suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di
negara lain;
7)
Suaka
tidak boleh diberikan dalam kasus-kasus tindak pidana dan tindakan yang
bertentangan dengan asas-asas PBB;
8)
Pemberian
suaka yang mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum
dan peraturan perundang-undangan negara pemberi suaka;
9)
Pesuaka
tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menentang negara asalnya atau yang
dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan negara pemberi suaka dan negara asal
pesuaka.
b.
Pengertian Pengungsi
Pengungsi adalah seseorang yang
mempunyai rasa takut yang benar-benar beralasan karena rasnya, agamanya,
kebangsaannya, keanggotaanya dalam kelompok sosial tertentu atau pandandangan
politiknya berada di luar negara asalnya dan tidak dapat memanfaatkan
perlindungan negara asalnya atau kembali ke negera tersebut karena takut
terhadap persekusi.
Hak- hak
pengungsi:
Konvensi status
pengungsi Tahun 1951 memberikan ketentuan tentang hak-hak fundamental
pengungsi, diantaranya:
1. Hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi;
2. Hak mencari dan menikmati suaka;
3. Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan;
4. Kebebasan dari perbudakan dan perhambaan;
5. Pengakuan secara pribadi di depan hukum;
6. Kebebasan pikiran, keyakinan dan agama;
7. Kebebasan dari penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang;
8. Kebebasan dari intervensi sewenang-wenang dalam
privasi rumah dan keluarga;
9. Kebebasan pendapat dan menyatakan pendapat;
10. Hak memperoleh pendidikan dan hak ikut serta
dalam kehidupan komunitas.
Pengungsi berhak untuk mendapatkan
perlindungan (suaka) yang aman, yang bukan hanya sebatas pada perlindungan
fisik. Setidak-tidaknya pengungsi harus mendapat hak-hak sipil yang mendasar
sebagaimana pemukim yang sah yang tinggal di negara tersebut, seperti hak tidak
disiksa, ha katas kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan bergerak.
Adapun kaitannya dengan hak ekonomi
dan sosial, pengungsi berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan, memperoleh
pekerjaan, dan bersekolah bagi khususnya pengungsi anak. Namun apabila negara
tersebut dan negara Internasional lainnya tidak sanggup memenuhi standar
dan bantuan sulit untuk didapatkan, maka
menjadi kewajiban UNHCR untuk memabntu dalam bentuk hibah financial ataupun
dalam bentuk bantuan yang lain seperti pendirian klinik, sanitasi, mendirikan
sekolah, dan sebagainya.
Kewajiban
Pengungsi:
Adapun kewajiban pengungsi adalah
mematuhi hukum dan peraturan dari negara pemberi suaka. Sehingga apabila
pengungsi melanggar hukum negara tersebut maka suatu hal yang wajar apabila
yang bersangkutan menjalani proses hukum sebagaimana warga asing lainnya.
8.
Perlindungan Terhadap Etnis Rohingya dalam
Hukum Internasional
Sebenarnya,
PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke Myanmar dalam mengatasi
etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian
masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak sekali bantuan yang
dikeluarkan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan pendidikan informal,
membangun camp pengungsian, kesehatan, dan masih banyak lainnya.
Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah
sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menembus
kebijakan yang diambil pemerintah Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan
permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih
eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.
Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar
sejak tahun 90-an membuktikan bahwa usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari
dalam negeri Myanmar itu sendiri, mereka mencoba memenuhi kebutuhan dasar etnis
ini, tetapi kembali lagi, usaha yang dilakukan PBB ini tidak dapat mencegah
perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar sehingga etnis
Rohingya tetap melarikan diri ke luar wilayah Myanmar.
Myanmar adalah negara anggota PBB
sejak tanggal 4 april 1948. Myanmar belum meratifikasi Konvenan-Konvenan
penting tentnag Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sebagai bagian dari anggota
PBB, Myanmar berkewajiban menghormati ketentuan-ketentuan yang ada dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) atau
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB.
Banyak ketentuan dalam UDHR yang
telah dilanggar oleh pemerintah Myanmar, diantaranya, Hak Hidup (Pasal 3) untuk
tidak disiksa (Pasal 5), atas setiap orang atas kewarganegaraan (Pasal 15) dan
ha katas setiap orang untuk memilki sesuatu (Pasal 17). Selain pelanggaran
terhadap ketentuan UDHR tersebut, Myanmar sbagai anggota PBB memiliki kewajiban
untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana ditegaskan dalam Piagam
PBB.
Sementara itu wakil Organization of Islamic
Cooperation (OIC) di PBB mendesak PBB
untuk menekan pemerintahan Myanmar agar menyelesaikan konflik Rohingya. Myanmar
tidak dapat bergabung dengan komunitas demokratis negara-negara lain jika tidak
melindungi hak-hak minoritas di negerinya ujar para wakil OIC.
Secara
khusus, Indonesia sebagai anggota OKI berkepentingan mendesak PBB untuk memberi
sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court
(ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya diMyanmar jelas merupakan
amanat penderitaan Muslim internasional sebagai spirit kemanusiaan atas nama
ketidakadilan yang merampas hak-hak kemanusiaan.
ASEAN juga sebenarnya sudah
mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya
ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) padatahun 2009.
Namun kembali
lagi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan masyarakat internasional dalam
menangani masalah Rohingya. Kedaulatan suatu negara sangat dijunjung tinggi
oleh masyarakat internasional. Sehingga masyarakat internasional tidak dapat
melakukan intenvensi terhadap Myanmar karena mereka memilki kedaulatan mereka
sendiri. Terlebih lagi pemerintah Myanmar sangatlah tertutup mengenai
permasalahan seperti ini.