Jumat, 23 Mei 2014

"Derita Etnis Rohingya"

Suara mereka di bungkam
Nyawa mereka di ujung senjata
salah sapa?
bergerak saja tak bisa, apalagi bekerja,,
mereka itu muslim
tapi diperlakukan seperti binatang!
lembaga Internasional kemana?
miris, dunia islam hanya menatap dalam diam
tak peduli dengan penderitaan yang berakhir dengan kematian..
(Raudhatun hafizah)



1.      Etnis Rohingya
Rohingya adalah nama kelompok etnis yang kebanyakan beragama Islam dan tinggal di negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad  ke 7 Masehi (778 M). ada beberapa versi tentang asal kata “Rohingya”. Rohingya berasal dari kata “Rohan” atau “Rohang”. Versi lain menyebutkan  bahwa istilah Rohingya disematkan oleh peneliti Inggris Francis Hamilton pada abad ke 18 kepada penduduk muslim yang tinggal di Arakan.
Etnis Rohingya tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh sejak wilayah itu masih menjadi jajahan Inggris. Ketika Arakan berada di bawah aneksasi Inggris banyak orang India dan Bangladesh yang melakukan migrasi ke Arakan, dan sejak kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) pada 4 Januari 1948, pemerintah telah menyatakan migrasi tersebut adalah illegal dan menyatakan bahwa Rohingya adalah keturunan Bengali serta menolak untuk mengakui mereka sebagai etnis dan warga negara Myanmar.  Sehingga setelah negara itu merdeka, etnis Rohingya terus mendapat perlakuan buruk dan kerap mengalami kekerasan dan diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis.
Etnis Rohingya bukanlah orang Bangladesh ataupun etnis Bengali, banyak orang Rohingya yang merupakan keturunan campuran dari orang Arab dan warga lokal.  Arakan sendiri adalah nama kerajaan Bengal di sisi Timur daerah yang kini bagian dari Bangladesh yang eksis sejak abad ke 8 Masehi. Kerajaan Arakan sebelum bergabung dengan Union of Myanmar pada tahun 1948 berturut-turut dikuasai oleh kerajaan Hindu, kerajaan Islam (pada abad 15-18), dan Buddhist.
Saat ini Arakan adalah negara bagian dari Union of Myanmar yang terletak di sisi barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh. Namun etnis Rohingya mengalami intoleransi oleh karenanya mereka dianggap berbeda. Karena agama berbeda (muslim), identitas etnis berbeda, serta memiliki ciri-ciri fisik plus bahasa yang berbeda. Oleh karenanya mereka (Rohingya) selalu menjadi subjek penyiksaan sejak tahun 1962 ketika Rezim militer U Ne Win mengambil alih pemerintahan Burma. Rezim milter Thein Sein yang kini berkuasa juga menolak memberikan kewarganegaraan Myanmar kepada Rohingya. Lebih buruk lagi ia memasukkan Rohingya pada daftar hitam.
Sejatinya, etnis Rohingya tidak sekali-kali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian warga negara Myanmar yang berhak hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan.  Saai ini Populasi orang Rohingya diprediksi sekitar 1,5 juta-3 juta jiwa. Dimana 800.000-an tinggal di Arakan dan sisanya menyebar di banyak negara. Banyak orang Rohingya yang mengungsi dan mencari perlindungan ke negeri seberang dengan menjadi “manusia perahu” . sedangkan, mereka yang bertahan di Arakan tidak sedikit yang menjadi korban “pembersihan etnis”.
Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis yang diakui di Myanmar. Selanjutnya peniadaan ini adalah juga bermakna penghilangan dan pembatasan hak etnis Rohingya dalam hal hak untuk bebas bergerak dan berpindah tempat; hak untuk menikah dan memiliki keturunan; hak atas pendidikan; hak untuk berusaha dan berdagang; hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah; serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.
Sedangkan, kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang dialami oleh etnis Rohingya antara lain: pembunuhan massal dan sewenang-wenang; pemerkosaan; penyitaan tanah dan bangunan; penyiksaan; kerja paksa dan perbudakan. Saat ini ada 1’5 juta orang Rohingya yang terusir dan tinggal terlunta-lunta di luar Arakan/Myanmar. Kebanyakan mereka mengungsi di Bangladesh, Pakistan, Saudi Arabia, Malaysia, Thailand, Indonesia dan lain-lain.
Namun kekerasan di Arakan terhadap etnis Rohinya ini mulanya tidak diketahui oleh dunia. Hanya media-media lokal yang antimuslim yang dapat beroperasi dan menyebarkan informasi-informasi yang palsu. Petugas kemanusiaanpun banyak yang dihalangi untuk ke Arakan bahkan di tangkap. Pemerintah Myanmar memberi peringatan kepada PBB dan organ organnya, UNHCR dan lembaga-lembaga kemanusiaan untuk melakukan kegiatan kemanusiaan di Arakan. Dengam minimnya media yang independen dan informasi yang akurat, ekstrimis Rahkine amat leluasa untuk melakukan kejahatan Genosida tanpa diketahui oleh public dunia.
Yang memprihatinkan, president Myanmar Thein Sein menyatakan bahwa Ia menginginkan supaya etnis Ronghiya dikelola oleh UNHCR saja atau ditampung di negara ketiga yang mau menampungnya. Bahkan pemimpin oposisi Burma Aung San Suu Kyi tetap diam tak bereaksi terhadap kasus Rohingya. Jiran terdekat Arakan yaitu Bangladesh juga tidak menginginkan Pengungsi Rohingya yang meminta perlidungan dari mereka. dan mengirim orang Rohingya untuk kembali ke laut, bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan Internasional penolong Rohingya dilarang beroperasi di Bngladesh. Akhirnya nasib pengungsi tersebut sama halnya dengan nasib orang Rohingya yang tinggal di Arakan.
Systematical operational yang dijalankan pemerintah untuk mengeliminasi etnis Rohingya adalah dengan melibatkan kelompok ekstrimis Budha 969. Kelompok ekstrimis ini dalam perjalanannya telah mengancam dan melanggar hak asasi manusia etnis etnis minoritas di Myanmar, terutama etnis Rohingya. Terlebih sekarang semakin semakin nyata upaya eliminasi sistematis yang dilakukan pemerintah, dimana baru-baru ini muncul Rohingya Elimination Group (kelompok Pengeliminasi Rohingya) di Myanmar yang tentu saja di dalangi oleh kelompok Ekstrimis 969.
Diskriminasi yang berujung eliminasi etnis Rohingya di Arakan sudah dimulai sejak adanyanya pperjanjian penyatuan etnis Myanmar pada tahun 1947 dalam rangka menyongsong kemerdekaan Myanmar tahun 1948, dimana pada saat itu etnis Rohingya tidak dilibatkan dan tidak ikut menandatangani Perjanjian Penyatuan tersebut. Akibatnya etnis Rohingya menjadi etnis yang tidak diakui di Myanmar.
2.      Faktor Penyebab Konflik etnis Rohingya
Penyebab timbulnya konflik dan mengapa konflik tersebut tidak terselesaikan adalah karena beberapa faktor:
Pertama, faktor SARA, bahwasanya pemerintah tidak mengakui Rohingya sebagai etnis Myanmar karena mereka keturunan asli Bengali (Bangladesh). Disamping itu kelompok ekstrimis 969 melakukan provokasi kebencian terhadap Islam dengan mengatakan bahwa Islam adalah ancaman buat umat Budha. Mereka menyatakan bahwa mereka khawatir jika Myanmar akan seperti Indonesia, yang dulunya negara dengan kerajaan Hindu-Budha dan sekarang menjadi negara Islam mayoritas dan terbesar di dunia, sehingga Islam harus dieliminasi dari bumi Myanmar.
Kedua: faktor ekonomi, bahwasanya sendi-sendi perekonomian Myanmar dikuasai oleh pebisnis dan pedagang muslim dengan kedai-kedainya yang menggunakan simbolnya 789 (basmallah), sehingga kondisi ini menimbulkan ketegangan sosial. Kelompok ekstrimis kemudian menghancurkan kedai-kedai 789 milik muslim di Arakan. Selain itu, wilayah Arakan kaya akan sumber gas dan sumber daya alam lainnya, yang menjadi perebutan negara-negara adidaya.
Ketiga, faktor sosial budaya, bahwasanya banyak wanita Myanmar yang menikah dengan laki-laki muslim dan kemudian menjadi mualaf. Kelompok ekstrimis dan pemerintah tidak menyukai hal tersebut dan melarang wanita Myanmar menikah dengan lelaki muslim Rohingya . Di samping itu, kebiasaan lelaki Myanmar suka mabuk dan tidak sayang terhadap istri dan keluarga, sehingga hal tersebut menjadi alasan wanita Myanmar lebih suka menikah dengan lelaki muslim yang memiliki sifat sebaliknya.
Keempat, faktor politik, bahwasanya konflik yang ada di Arakan merupakan project bagi pemerintah sehingga konflik tersebut sengaja dipelihara untuk mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. Disamping itu, Myanmar akan menjelang pemilihan umum pada tahun 2015, sehingga konflik ini sengaja dipelihara oleh elit politik dan pemerintah untuk kepentingan pemilu dalam mencari dukungan dari Buddhist.

3.      Puncak Diskriminasi etnis Rohingya
Menurut laporan The New Light of Myanmar , sebuah koran yang terbit di negara Myanmar tertanggal 4 Juni2012, konflik Rohingya bermula dari sebuah pembunuhan seorang gadis Budha bernama Ma Thida Htwe yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye,.Pada tanggal 28 Mei 2012  sore, Thida hendak pulang ke rumah setelah seharian bekerja di sebuah Taylor. Tepat pukul 17:15 waktu setempat, ia ditikam oleh orang yang tak dikenal di hutan Bakau samping jalan tanggul menuju Kyaukhtayan, bagian dari desa Kyauknimaw dan Chaungwa.
 Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa tersangka. Mereka adalah Htet Htet (a) Rawshi, Rawphi, dan Khochi, Hasil investigasi menyebutkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Saat itu, dia sedang membutuhkan uang untuk menikahi seorang gadis. Untuk itulah dia bersama kedua rekan tersangka lainnya merampok perhiasan yang dikenakan seorang gadis tersebut dan kemudian dibunuhnya. Berita ini menyebar luas dikalangan penduduk sekitar. Untuk menghindari kerusuhan rasial, tim MPF yang memantau situasi di sana mengirim ketiga pemuda tersebut ke penjara pada pukul 10:15 tanggal 30Mei.
      Yang terbit pada hari berikutnya, 5 Juni menyebutkan bahwa beredar foto-foto hasil penyelidikan tim forensik bahwa sebelum dibunuh, ternyata korban sempat diperkosa oleh ketiga pemuda Bengali Muslim tadi. Korban juga digorok tenggorokannya, dadanya ditikam beberapa kali dan organ kewanitaannya ditikam dan dimutilasi dengan pisau. Foto-foto tersebut semakin menambah kemarahan warga yang beragama Budha. Dengan dalih bahwa Rohingya bukanlah etnis asli Myanmar, meraka yang terprovokasi melakukan penindasan-penindasan terhadap Rohingya. Mereka tidak menginginkan kehadiran etnis tersebut di bumi Arakan.
Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni 2013 memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai beriku: “Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal ditempat- tempat ramai dTauggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan, memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orangMuslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangoon dan berhenti diTerminal Bus Ayeyeiknyein. Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangoon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang. Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus.
            Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur. Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Halini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Mereka menganggap etnis Rohingya itu "pendatang haram" dari Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada ditanah itu (Rakhine state) selama ratusan tahun berdampingan dengan burmanese lainnya.
Kemudian konflik antar dua kelompok  tak terhindarkan, terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena jumlahnya sedikit dan beratusan tahun terpinggirkan, ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850-1000-an warga tewas. Sekitar 90.000-an lainnya terusir atau tetap menetap dalam penderitaan. Itulah sekelumit fakta konflik yang melanda Muslim Rohingya. Etnis Rohingya tidak diakui pemerintah junta militer, mereka tak diberi kartu identitas warga negara.
4.      Pembersihan Etnis Sebagai Kejahatan Genosida
Kekerasan yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya membuktikan tidak semudah yang diharapkan dunia Internasional terhadap penghapusan Kejahatan Internasional, dimana Konvensi yang mengatur mengenai Genosida sudah diberlakukan dan Peradilan Pidana Internasional sudah didirikan; namun Kejahatan Internasional tetap saja terjadi bahkan dengan berbagai macam cara.
Dalam dunia Internasional, masalah Genosida sudah ada aturan bakunya di mana pada tanggal 09 Desember 1948, satu hari sebelum The Universal Declaration of Human Righ (UDHR) diumumkan, sidang umum PBB secara mutlak menerima Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, sebagai Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia yang pertama.
Genosida tergolong sebagai kejahatan Internasional (Internasional Crime), seperti halnya kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity); kejahatan Agresi (Crime of Agression). Merupakan kewajiban seluruh masyarakat Internasional untuk mengadili ataupun menghukum pelakunya. Tujuan Konvensi Genosida dirumuskan dengan kehendak untuk melawan dan mencegah terulangnya Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violence of human rights), yang terjadi pada perang dunia II.
Dalam pasal 6 Konvensi Genosida menyebutkan bahwa orang yang melakukan Genosida atau tindakan lain akan diadili oleh Pengadilan yang berkompeten oleh Negara dimana Pengadilan pidana internasional yang berwenang dan yuridiksinya diterima oleh Negara Pihak.
Dalam Pasal 2 Konvensi Genosida menyatakan: setiap dari perbuatan-perbuatan berikut yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau  agama seperti:
a)      Membunuh para anggota kelompok;
b)      Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;
c)      Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian;
d)      Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah didalam kelompok itu;
e)      Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain.

            Dalam Konvensi genosida menegaskan siapa-siapa saja yang dapat dikatakan melakukan tindakan genosida sebagaimana diatur pasal 4 Konvensi yang menyatakan orang-orang yang melakukan genosida atau setiap perbuatan lain yang disebut dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka para penguasa yan bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat Negara, atau individu-individu biasa.
Maka sudah ssatnya dunia Internasional terlibat aktif dalam menangani pembersihan etnis yang mengarah kepada Kejahatan Genosida di Myanmar yang semakin lama semakin meluas. Apabila dunia Internasional tidak mensikapi kedukaan etnis Rohingya ini secara serius, bukan tidak mungkin suatu waktu etnis Rohingya tidak akan dijumpai lagi dalam peta dunia, karena mereka stateless (tidak diakui kewarganegaraannya) forgetten (dilupakan).
5.      Manusia Perahu dan Tanggung jawab Dunia
Pada akhir tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi manusia perahu (boat people), mencari keselamatan ke negeri lain. Sekitar Bulan Desember 2008,  1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan ditampung sementara di Aceh. Tanggal 11/02/2009 nelayan asal Aceh menyelamatkan 220 “manusia perahu”. Bulan Juli 2012  Indonesia mendapati lagi 82 pengungsi Rohingya (13 diantaranya anak-anak) terdampar di kepulauan Riau dan kini di tahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjung Pinang. Saat bersamaan ada sekitar 300.000 pengungsi yang lari ke Bangladesh, Thailand, Malaysia, Pakistan, India , Timur Tengah, Jepang dll.
Namun kondisi warga Rohingya di pengungsian sama mengenaskan-nya dengan saudaranya yang berada di Arakan. Dimana-mana mereka disebut pendatang haram maupun pendatang illegal. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di forum internasional pada juli 2012 supaya Rohingya mencari negara lain saja atau PBB mencarikan tempat penampungan lain di luar Myanmar.
Kondisi seperti ini sudah seharusnya ada pihak yang bertanggung jawab, Tanggung jawab utama dan pertama terletak pada negara Myanmar. Karena meperjuangkan Myanmar yang bebas berkeadilan takkan sempurna tanpa mengakui eksistensi warga Rohingya dan warga minoritas lainnya di Myanmar.
Tanggung jawab kedua adalah  pada badan-badan internasional seperti PBB dan ASEAN. Karena Myanmar adalah negara anggota PBB maupun ASEAN. Bahkan Sekjen PBB prnah berasal dari Myanmar (U Thant, 1961-1971) dan tahun ini Myanmar memegang tampuk kekuatan  ASEAN.
Tanggung jawab berikutnya adalah negara-negara tetangga yang berdekatan. Seperti Bangladesh, India, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Namun tidak semua negara mau menampung mereka, padahal dalam Konvensi tentang status pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara penerima tidak boleh menolak dan mengembalikannya pengungsi/pencari suaka ke negerinya ketika kondisi di negerinya membahayakan untuk keselamatan para pengungsi tersebut.
Tanggung jawab keempat adalah pada negara-negara berpendudukan muslim. Warga Rohingya adalah muslim yang sejarah keislamannya sudah berlangsung sejak abad ke 14 M. Dan sampai kini mereka muslim dan tetap bersemangat dalam ibadah. Wlaupun masjid dan mushala yang ada dihancurkan dan otoritas yang berkuasa melarang pembangunan masjid yang baru.
Negara-negara berpendudukan muslim dan anggota OKI (organisasi Konferensi Islam), seharusnya mengambil peran yang lebih efektif dan positif terhadap muslim Rohingya. Uniknya hanya sedikit para pengungsi tersebut untuk memilih mengungsi ke negeri-negeri muslim yang lain. Mereka mencari suaka ke negeri-negeri barat yang notabene sekuler.

6.      Sikap Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
Namun terkait Indonesia sendiri ada beberapa permasalahan yang mucul mengenai warga Rohingya yang berada di Indonesia, permasalahan pertama yang muncul dari dalam antara lain bahwa Indonesia samapai saat ini belum memiliki regulasi yang jelas mengenai penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk Negara anggota peratifikasi Konvensi Wina tahun 1951 dan protokolnya tahun 1967  tentang status pengungsi sehingga Indonesia tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional terhadap imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia.
Implikasinya, Indonesia hanya bisa menampung para imigran tersebut sampai batas waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi Indonesia di dalam undang keimigrasiannya tidak mengenal istilah pencari suaka maupun pengungsi. Sehingga semua orang asing yang datang ke Indonesia (pencari suaka, pengungsi, atau pelaku kejahatan) yang tidak memiliki dokumen resmi maka dikualifikasikan sebagai  imigran gelap dan mereka yang tertangkap ditahan di RUDENIM (Rumah Detensi Imigran) yang sama.
Dari hasil penulusuran mengapa Indonesia belum mau meratifikasi Konvensi Wina, bahwa prinsip yang melekat dalam sistem Keimigrasian Indonesia seharusnya adalah orang-orang yang memberi manfaat bagi Indonesia, dan bukan sebaliknya. Indonesia khawatir bahwa jika meratifikasi Konvensi tersebut akan berdampak pada stabilitas keamanan dan para Imigran akan berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk mencari suaka.
Dalam prakteknya, meskipun tidak meratifikasi Konvensi Wina 1951, Indonesia mengimplementasikan dalam beberapa peraturan administratifnya mengenai penanganan pengungsi secara subtansial yaitu antara lain Surat Edaran Perdana Menteri No. 11/RI/1956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, Keputusan Presiden N0. 38 Tahun 1979 tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam, Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, dan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M.05.H.02.01 Tahun 2006 Tentang Rumah Detensi Imigran.
Selain permasalahn dari dalam, permasalahan dari luar juga muncul, yaitu antara lain:
a.       Sulitnya proses pemulangan ke Myanmar karena kondisi keamanan yang semakin buruk;
b.      Kedutaan Myanmar di Indonesia sama sekali tidak peduli dan tidak mengakui Rohingya sebagai warga Negara Myanmar;
c.       Rohingya tidak mempunyai paspor sehingga menjadi kendala dalam proses assessment utnuk menjadi pengungsi internasional ;
d.      Rohingya tidak mau dipulangkan karena kondisi keamanan Myanmar;
e.       Belum ada negara ketiga yang mau menampung pengungsi Rohingya;
f.       Lamanya rohingya ditampung di Indonesia menjadi beban Negara;
g.       Rohingya banyak uang menikah dengan wanita di Indonesia dan mempunyai anak dan berharap bisa menjadi WNI;
h.      Banyak Rohingya yang memiliki kartu pengungsi UNHCR palsu;
i.        Imigran Rohingya tidak bisa berbahasa Melayu maupun Inggris sehingga sulit dalam melakukan tindakan keimigrasian.

7.      Pencari Suaka dan Pengungsi dalam Hukum Internasional
a.      Pengertian Pencarian Suaka
“Suaka adalah tempat perlindungan yang diberikan oleh suatu Negara di wilayah atau di tempat lain yang berada dibawah pengawasan organnya, kepada seseorang yang datang memintanya”
            Peraturan tentang Pencari Suaka ini ada dalam berbagai peraturan, bahkan termasuk Pasal 28 G UUD 1945 yang menyatakan hak seseorang untuk mencari suaka di negara lain dan TAP MPR No. XVII.MPR/1998 yang mengakui keberadaan DUHAM  termasuk Pasal 24 tentang hak seseorang untuk mencari suaka di negara lain. Selain itu pengaturan tentang suaka ini juga secara eksplesit diatur dalam Undang-Undang, yaiyu UU pengesahan Conventtion Agaisnt Torture (CAT) dan UU Hubungan Luar Negeri (Hublu).
Lemabaga suaka memiliki karakteristik:
1)       Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh seseorang sebagai hak;
2)       Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan kalau memperolehnya, menikmatinya;
3)      Pemberian asal pencari atau penolakan suaka adalah hak negara-negara berdasarkan kedaulatannya;
4)      Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan humaniter, oleh karenanya pemberian suaka oleh suatu negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap negara asal pencari suaka;
5)      Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai berikut:
(i)     Larangan pengusiran
(ii)   Larangan pengambilan paksa ke negara asal
(iii) No ekstradisi pesuaka
6)      Bilamana suatu negara mengalami kesulitan  untuk memberikan suaka kepada seseorang secara permanen, atau jangka waktu panjang, negara tersebut setidak-tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain;
7)      Suaka tidak boleh diberikan dalam kasus-kasus tindak pidana dan tindakan yang bertentangan dengan asas-asas PBB;
8)      Pemberian suaka yang mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan negara pemberi suaka;
9)      Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menentang negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan negara pemberi suaka dan negara asal pesuaka.
b.      Pengertian Pengungsi
            Pengungsi adalah seseorang yang mempunyai rasa takut yang benar-benar beralasan karena rasnya, agamanya, kebangsaannya, keanggotaanya dalam kelompok sosial tertentu atau pandandangan politiknya berada di luar negara asalnya dan tidak dapat memanfaatkan perlindungan negara asalnya atau kembali ke negera tersebut karena takut terhadap persekusi.
Hak- hak pengungsi:
Konvensi status pengungsi Tahun 1951 memberikan ketentuan tentang hak-hak fundamental pengungsi, diantaranya:
1.      Hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi;
2.      Hak mencari dan menikmati suaka;
3.      Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan;
4.      Kebebasan dari perbudakan dan perhambaan;
5.      Pengakuan secara pribadi di depan hukum;
6.      Kebebasan pikiran, keyakinan dan agama;
7.      Kebebasan dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang;
8.      Kebebasan dari intervensi sewenang-wenang dalam privasi rumah dan keluarga;
9.      Kebebasan pendapat dan menyatakan pendapat;
10.  Hak memperoleh pendidikan dan hak ikut serta dalam kehidupan komunitas.

            Pengungsi berhak untuk mendapatkan perlindungan (suaka) yang aman, yang bukan hanya sebatas pada perlindungan fisik. Setidak-tidaknya pengungsi harus mendapat hak-hak sipil yang mendasar sebagaimana pemukim yang sah yang tinggal di negara tersebut, seperti hak tidak disiksa, ha katas kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan bergerak.
            Adapun kaitannya dengan hak ekonomi dan sosial, pengungsi berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan, memperoleh pekerjaan, dan bersekolah bagi khususnya pengungsi anak. Namun apabila negara tersebut dan negara Internasional lainnya tidak sanggup memenuhi standar dan  bantuan sulit untuk didapatkan, maka menjadi kewajiban UNHCR untuk memabntu dalam bentuk hibah financial ataupun dalam bentuk bantuan yang lain seperti pendirian klinik, sanitasi, mendirikan sekolah, dan sebagainya.
Kewajiban Pengungsi:
            Adapun kewajiban pengungsi adalah mematuhi hukum dan peraturan dari negara pemberi suaka. Sehingga apabila pengungsi melanggar hukum negara tersebut maka suatu hal yang wajar apabila yang bersangkutan menjalani proses hukum sebagaimana warga asing lainnya.

8.      Perlindungan Terhadap Etnis Rohingya dalam Hukum Internasional
            Sebenarnya, PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke Myanmar dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak sekali bantuan yang dikeluarkan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan pendidikan informal, membangun camp pengungsian, kesehatan, dan masih banyak lainnya.
            Tetapi, peran UNHCR disini hanyalah sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menembus kebijakan yang diambil pemerintah Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.
            Tetapi keberadaan UNHCR di Myanmar sejak tahun 90-an membuktikan bahwa usaha yang dilakukan oleh PBB dimulai dari dalam negeri Myanmar itu sendiri, mereka mencoba memenuhi kebutuhan dasar etnis ini, tetapi kembali lagi, usaha yang dilakukan PBB ini tidak dapat mencegah perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar sehingga etnis Rohingya tetap melarikan diri ke luar wilayah Myanmar.
            Myanmar adalah negara anggota PBB sejak tanggal 4 april 1948. Myanmar belum meratifikasi Konvenan-Konvenan penting tentnag Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, sebagai bagian dari anggota PBB, Myanmar berkewajiban menghormati ketentuan-ketentuan yang ada dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam PBB.
            Banyak ketentuan dalam UDHR yang telah dilanggar oleh pemerintah Myanmar, diantaranya, Hak Hidup (Pasal 3) untuk tidak disiksa (Pasal 5), atas setiap orang atas kewarganegaraan (Pasal 15) dan ha katas setiap orang untuk memilki sesuatu (Pasal 17). Selain pelanggaran terhadap ketentuan UDHR tersebut, Myanmar sbagai anggota PBB memiliki kewajiban untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana ditegaskan dalam Piagam PBB.
            Sementara itu wakil Organization of Islamic Cooperation (OIC) di PBB  mendesak PBB untuk menekan pemerintahan Myanmar agar menyelesaikan konflik Rohingya. Myanmar tidak dapat bergabung dengan komunitas demokratis negara-negara lain jika tidak melindungi hak-hak minoritas di negerinya ujar para wakil OIC.
Secara khusus, Indonesia sebagai anggota OKI berkepentingan mendesak PBB untuk memberi sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court  (ICC) atas tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya. Tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya diMyanmar jelas merupakan amanat penderitaan Muslim internasional sebagai spirit kemanusiaan atas nama ketidakadilan yang merampas hak-hak kemanusiaan.
            ASEAN juga sebenarnya sudah mengadopsi prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia melalui dibentuknya ASEAN Intergovermental Commission on Human Rights (AICHR) padatahun 2009.

Namun kembali lagi bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan masyarakat internasional dalam menangani masalah Rohingya. Kedaulatan suatu negara sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat internasional. Sehingga masyarakat internasional tidak dapat melakukan intenvensi terhadap Myanmar karena mereka memilki kedaulatan mereka sendiri. Terlebih lagi pemerintah Myanmar sangatlah tertutup mengenai permasalahan seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar