PENDAHULUAN
Perbarengan melakukan
tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop. Perbarengan melakukan
tindak pidana juga sering dipersamakan dengan gabungan melakukan tindak pidana
yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan
hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu
berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan
itu belum mendapatkan keputusan tetap.
Perbarengan melakukan
tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab
VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini
ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan
pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan
yang dilakukannya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)
Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut
Samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan Concursus. Secara istilah yang
dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh
satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi
pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya
belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1]
Sehubung
dengan lebih dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu orang, UTRECHT
(1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a)
Terjadi
perbarengan, dalam hal apabila dalam
waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah di tetapkan satu pidana
karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam
hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam
satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, oleh karenanya
praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan
pidana. Misalnya dua kali pembunuhan (pasal 338) tidaklah dipidana dua kali
yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi
cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah
sepertiganya, pasal 65).
b)
Apabila
tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat
oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat
karena tindak pidana yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat
pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c)
Dalam
hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si
pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka disini
tidak terjadi perbarengan maupun
pengulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan
sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan
pada beberapa tindak pidana tersebut.
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya perbarengan adalah:
Ø
Ada
dua atau lebih tindak pidana;
Ø
Bahwa
dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang;
Ø
Bahwa
dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
Ø
Bahwa
dua atau lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.[2]
Selain
keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara beberapa tindak pidana
(perbarengan) dalam satu majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang
terpenting kedua dalam perbarengan ialah mengenai system penjatuhan pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel
pemidanaan, yaitu:
a) Sistem
Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan
pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja,
yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
b) Sistem Kumulasi Murni
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
c) Sistem Absorbsi
Dipertajam
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan
pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat
dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini
diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
d) Sistem Kumulasi Diperlunak
Delik yang masing-masing diancam
dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang
diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi,
jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari
pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).[3]
2.
Bentuk-Bentuk
Perbarengan Tindak Pidana
Gabungan
perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk, concursus ini diatur dalam
titel VI KUHP , yaitu sebagai berikut:
1)
Concursus
idealis (pasal 63 KUHP);
2)
Perbuatan
berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP);
3)
Concursus
realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).
A.
Perbarengan satu perbuatan (Concursus Idealis atau eendaadsche samenloop)
Concursus Idealis
(Eendaadse Samenloop),
yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. System
pemberiaan pidana yang dipakai dalam concursus
idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang
terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku telah
melanggar dua aturan pidana dan dapat di ancam dengan pidana penjara 12 tahun
menurut Pasal 285 (memperkosa), dan pidana dengan penjara 2 tahun 8 bulan
menurut Pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum). Dengan sistem arsorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu
12 tahun penjara.[4]
Satu wujud perbuatan (een feit) yang
melaggar lebih dari satu aturan pidana ini diebut juga dengan perbarengan peraturan atau gabungan satu perbuatan. Gabungan satu
perbuatan atau concursus idealis di atur dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang berbunyi:
“jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka
menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling
berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana
menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogate legi generali (aturan undang-undang
yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu
melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338
tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun . Namun, karena Pasal 341
telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya,
maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu itu hanya diancam dengan
Pasal 341.
B.
Perbuatan Berlanjut (Voortegezette Handeling)
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan itu
ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut, dengan syarat atau kriteria yang dikemukakan oleh MvT (Memorie van Toelichting) sebagai
berikut:
1)
Harus
ada keputusan kehendak;
2)
Masing-masing
perbuatan harus sejenis;
3)
Tenggang
waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
mengenai
perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai
berikut:
1)
Jika antara beberapa perbuatan,
meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka
hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang akan diterapkan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2)
Demikian pula hanya dikenakan
satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau
perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
3)
Akan tetapi, jika orang yang
melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 470
ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan
jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh rupiah, maka dikenakan aturan
pidana tersebut dalam pasal-pasal 362, 372, 378, dan 406.[5]
Delik berlanjut apabila:
a. Seseorang melakukan beberapa
perbuatan;
b. Perbuatan itu merupakan kejahatan
atau pelanggaran sendiri;
c. Antara perbuatan-perbuatan itu
ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Sistem
pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absrobsi, yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka
dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
Pasal
64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasak 364 (pencurian ringan),
Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan),
yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.[6]
C.
Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop)
Yang
dimaksud dengan Concursus Realis
adalah: ”apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan mana berdiri
sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
pidana yang berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan dan/atau
pelanggara mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan
diadili sekaligus oleh pengadilan”.[7]
Maka dalam concursus
realis terdapat:
a) Seorang pembuat;
b) Serentetan tindak pidana yang
dilakukan olehnya;
c) Tindak pidana itu tidak perlu
sejenis atau berhubungan satu sama lain;
d) Di antara tindak pidana itu tidak
terdapat keputusan hakim.
Dan
sistem pemberatan pidana bagi concursus
realis itu sendiri terdiri
beberapa macam, yaitu:
1) Kejahatan yang diancam dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65),
penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem
absorbsi yang dipertajam, yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dengan
ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana
tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiganya (ayat 2).
Contoh kasusnya, misalkan Firman
melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5
tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12
tahun penjara.
2) Kejahatan yang diancam dengan
pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan pidananya dengan
menggunakan sistem kumulasi diperlunak,
artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni kepada si pembuatnya
dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang
dibuatnya tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang
terberat ditambah sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam
dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau
kurungan, maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti
denda (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan dua kejahatan yang
masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka
maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena
semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun
penjara 8 bulan kurungan.
3) Concursus
realis berupa
pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan.
Namun, jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4) Concursus
realis berupa kejahatan-kejahatan
ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan terhadap hewan), Pasak 352
(penganiayaan ringan) , Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan
ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka penjatuhan pidananya berlaku system kumulasi dengan pembatasan
maksimum pidana penjara 8 bulan.
5) Untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili
pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: ”jika seseorang
setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan
kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana
yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan
aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang
sama.
KESIMPULAN
Perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang yang melakukan
beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur
dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP Pasal 63-71. Yang
dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu:
1)
Concursus
idealis (pasal 63 KUHP)
2)
Perbuatan
berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP)
3)
Concursus
realis (pasal 65 s/d 71 KUHP)
Concursus
idealis adalah seseorang yang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu
perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sanksi pidana yang
dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
Selanjutnya
Perbutan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlajut.
Concursus
realis adalah seseorang yang melakukan beberapa perbuatan sekaligus. Apabila
hukuman pokok sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan. Dan apabila
hukuman pokoknya tidak sejenis, maka
setiap hukuman daring masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
Ada
empat macam system pemidanaanya, yaitu:
1)
Sistem
absorbsi;
2)
Sistem
kumulasi murni;
3)
Sistem
absorbi dipertajam; dan
4)
Sistem
kumulasi diperlunak.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Chazawi,
Adami. 2009. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah,
Andi. 2011. KUHP & KUHAP. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
[1]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009),hal.109.
[4]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi
Revisi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),hal.179.
[5]
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi
Revis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011),hal.29.
[7]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi
Revisi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),hal.186.