A. Pengertian
Ijtihad
Kata
ijtihat berasal dari kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan. Yang berarti : “
Bersungguh-sungguh, rajin, giat. Jadi dengan demikian Ijtihad adalah perbuatan
menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syariat. Orang
yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Menurut
imam Al-gazali ijtihad adalah “mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan
hukum syara’ dengan jalan istinbat (Mengeluarkan hukum dari kitab dan sunah) “.
Sedangkan definisi ijtihad yang dikemukakan oleh Abu zahrah adalah : “
Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk
meng-istinbatkan-hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Berdasarkan definisi
ini, Ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk atau
mengistinbatkan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya.
Ijtihad
memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
a.
Pengerahan
kemampuan nalar secara maksimum dari orang-orang yang berpredikat
sebagai
mujtahid.
b.
Menggunakan
metode istinbath (Pengalian hukum).
c.
Objek
Ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci.
d.
Tujuan
ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan
masalah-masalah ‘amaliyyah (Bukan yang
berkaitan dengan masalah akidah atau
akhlak).
e.
Hukum
syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni bukan yang bersifat Qath’i.
B. Syarat-Syarat
Bagi Mujtahid
Tidak semua orang dapat menjadi mujtahid
untuk menjadi mujtahid seseorang harus memiliki persyaratan yang wajib
dipenuhi, syarat-syarat tersebut terbagi menjadi , yaitu syarat-syarat umum dan
syarat-syarat khusus.
a. Syarat-syarat
umum
1.
Baligh
; Maksudnya Orang yang telah dibebani tanggung jawab hukum (Mukallaf)
2.
Berakal
sehat; Maksudnya tidak gila
3.
Memahami
masalah; Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep
yang rumit dan abstrak.
4.
Beriman
b. Syarat-syarat
Khusus
1.
Memahami
Bahasa Arab;
Dalam
pengertian memahami bahasa arab adalah seseorang yang harus mengetahui ilmu
an-nahwu, ash-sharf, al-balaghah, ma’ani al-mufradat, dan gaya bahasa arab (al-uslub)
yang berbeda-beda dalam mengungkapkan suatu pengertian.
2.
Memahami
ilmu Ushul fiqh.
Memahami
hukum dari dalil-dalil syara’.
3.
Memahami
Al-quran secara mendalam.
Mengetahui
ayat-ayat hukum atau ayat-ayat (al-ahkam), memahami ilmu asbab an-nuzul mengetahui
ilmu an-nasikh wa al-mansukh.
4.
Memahami
sunnah. Mengetahui hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum syara’
5.
Memahami
tujuan-tujuan pensyariatan hukum (maqashid asy-syari’ah).
C. Lapangan
Mujtahid
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadist rasulullah yang tidak
diragukan lagi kepastiannya dating dari Allah atau rasul-Nya, seperti Al-quran
dan hadits mutawatir, bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi
periwayatannya. Al-quran yang beredar dikalangan umat islam sekarang ini adalah
pasti atau (qath’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga hadist
mutawatir adalah pasti (qath’i) dating dari Rasulullah. Kepastian itu dapat
diketahui karena baik Al-quran atau hadits mutawatir sampai kepada kita dengan
riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.
Demikian
pula halnya para ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi
diperlukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan hukum secara tegas dan
pasti (qath’i). Wahbah Az-zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada
hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-quran
dan hadist. Misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban
berpuasa, zakat, haji. Larangan berzina, membunuh, dan kadar pembagian harta
warisan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Adapun hal-hal yang
menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul wahhab khallaf, adalah
masalah-masalah yang tidak pasti atau (zhanni) baik dari segi datangnya dari
Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikatagorikan dalam tiga
macam :
1.
Hadits
ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang
tidak samapai ketingkat hadits mutawatir. Hadist ahad dari segi kepastian
datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zanni) dalam
arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal
ini seoarang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran
periwayatannya.
2.
Lafal-lafal
atau redaksi Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan pengertiannya secara tidak
tegas atau zanni sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat
ditangkap ketika mendengan bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits
yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya
memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna yang
sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada
perbedaan pendapat ulam dalam menetapkan hukum.
3.
Masalah-masalah
yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelakan
hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan perannya yang amat pentimg dalam
rangka mengembangakan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya
lewat tujuan hukum, seperti dengan qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad Al-zari’ah.
Pengertian Fatwa
Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai
suatu kejadian (peristiwa) yang merupakan bentukan sebagaimana di katakan
Zamakhsyari dalam al-kasysyaf dari kata (al-fataa/pemuda) dalam usianya, dan
sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah). Sedangkan pengertian fatwa
menurut syara’ ialah menerangkan hokum syara’ dalam suatu persoalan sebagai
jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun
tidak, baik perseorangan maupun kolektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar