Sabtu, 15 Juni 2013

Ijtihad dan Fatwa

A.    Pengertian Ijtihad
     Kata ijtihat berasal dari kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan. Yang berarti : “ Bersungguh-sungguh, rajin, giat. Jadi dengan demikian Ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syariat. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
     Menurut imam Al-gazali ijtihad adalah “mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (Mengeluarkan hukum dari kitab dan sunah) “. Sedangkan definisi ijtihad yang dikemukakan oleh Abu zahrah adalah : “ Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbatkan-hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Berdasarkan definisi ini, Ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk atau mengistinbatkan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya.
     Ijtihad memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
a.    Pengerahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang-orang yang berpredikat  
      sebagai mujtahid.
b.   Menggunakan metode istinbath (Pengalian hukum).
c.    Objek Ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci.
d.   Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan
     masalah-masalah ‘amaliyyah (Bukan yang berkaitan dengan masalah akidah atau
      akhlak).
e.    Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni bukan yang bersifat Qath’i.

B.     Syarat-Syarat Bagi Mujtahid
     Tidak semua orang dapat menjadi mujtahid untuk menjadi mujtahid seseorang harus memiliki persyaratan yang wajib dipenuhi, syarat-syarat tersebut terbagi menjadi , yaitu syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus.
a.      Syarat-syarat umum
1.      Baligh ; Maksudnya Orang yang telah dibebani tanggung jawab hukum (Mukallaf)
2.      Berakal sehat; Maksudnya tidak gila
3.      Memahami masalah; Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak.
4.      Beriman

b.      Syarat-syarat Khusus
1.      Memahami Bahasa Arab;
 Dalam pengertian memahami bahasa arab adalah seseorang yang harus mengetahui ilmu an-nahwu, ash-sharf, al-balaghah, ma’ani al-mufradat, dan gaya bahasa arab (al-uslub) yang berbeda-beda dalam mengungkapkan suatu pengertian.
2.      Memahami ilmu Ushul fiqh.
Memahami hukum dari dalil-dalil syara’.
3.      Memahami Al-quran secara mendalam.
Mengetahui ayat-ayat hukum atau ayat-ayat (al-ahkam), memahami ilmu asbab an-nuzul mengetahui ilmu an-nasikh wa al-mansukh.
4.      Memahami sunnah. Mengetahui hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum syara’
5.      Memahami tujuan-tujuan pensyariatan hukum (maqashid asy-syari’ah).
                
C.    Lapangan Mujtahid
     Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau hadist rasulullah yang tidak diragukan lagi kepastiannya dating dari Allah atau rasul-Nya, seperti Al-quran dan hadits mutawatir, bukan lagi merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya. Al-quran yang beredar dikalangan umat islam sekarang ini adalah pasti atau (qath’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga hadist mutawatir adalah pasti (qath’i) dating dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik Al-quran atau hadits mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.
     Demikian pula halnya para ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (qath’i). Wahbah Az-zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam Al-quran dan hadist. Misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji. Larangan berzina, membunuh, dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Adapun hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul wahhab khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti atau (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikatagorikan dalam tiga macam :
1.         Hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang tidak samapai ketingkat hadits mutawatir. Hadist ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal ini seoarang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2.         Lafal-lafal atau redaksi Al-Qur’an atau hadits yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas atau zanni sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengan bunyi lafal atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna yang sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulam dalam menetapkan hukum.
3.         Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelakan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan perannya yang amat pentimg dalam rangka mengembangakan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad Al-zari’ah.






Pengertian Fatwa

             Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa) yang merupakan bentukan sebagaimana di katakan Zamakhsyari dalam al-kasysyaf dari kata (al-fataa/pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah). Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hokum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar