Sabtu, 15 Juni 2013

Penggabungan Tindak Pidana (Samenloop)



BAB I
PENDAHULUAN

Perbarengan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop. Perbarengan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan gabungan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan tetap.
Perbarengan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Perbarengan Tindak Pidana (Concursus atau Samenloop)
Dalam Kamus Hukum, perbarengan juga disebut Samenloop (Belanda) atau disebut juga dengan Concursus. Secara istilah yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1]
      Sehubung dengan lebih dari satu tindakan pidana yang dilakukan oleh satu orang, UTRECHT (1965:197) mengemukakan tentang 3 (tiga) kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a)      Terjadi perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidak telah di tetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana. Misalnya dua kali pembunuhan (pasal 338) tidaklah dipidana dua kali yang masing-masing dengan pidana penjara maksimum 15 (lima belas) tahun, tetapi cukup dengan satu pidana penjara dengan maksimum 20 tahun (15 tahun ditambah sepertiganya, pasal 65).
b)      Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan mempidana pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka disini terdapat pengulangan. Pada pemidanaan si pembuat karena tindak pidana yang kedua ini terjadi pengulangan, dan disini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c)      Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka disini tidak terjadi perbarengan maupun pengulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri-sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya perbarengan adalah:
Ø  Ada dua atau lebih tindak pidana;
Ø  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang;
Ø  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
Ø  Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.[2]
Selain keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara beberapa tindak pidana (perbarengan) dalam satu majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang terpenting kedua dalam perbarengan ialah mengenai system penjatuhan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:

a)      Sistem Absorbsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
b)  Sistem Kumulasi Murni
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
c)  Sistem Absorbsi Dipertajam
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
d) Sistem Kumulasi Diperlunak
Delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).[3]
2.      Bentuk-Bentuk Perbarengan Tindak Pidana
      Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk, concursus ini diatur dalam titel VI KUHP , yaitu sebagai berikut:
1)      Concursus idealis (pasal 63 KUHP);
2)      Perbuatan berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP);
3)      Concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP).

A.     Perbarengan satu perbuatan (Concursus Idealis atau eendaadsche samenloop)
            Concursus Idealis (Eendaadse Samenloop), yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberiaan pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku telah melanggar dua aturan pidana dan dapat di ancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 (memperkosa), dan pidana dengan penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum). Dengan sistem  arsorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.[4]
            Satu wujud perbuatan (een feit) yang melaggar lebih dari satu aturan pidana ini diebut juga dengan perbarengan peraturan atau gabungan satu perbuatan. Gabungan satu perbuatan atau  concursus idealis di atur dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “jika  suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
            Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana  yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
            Selanjutnya dalam Pasal  63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogate legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun . Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku sistem absorbsi. Ibu itu hanya diancam dengan Pasal 341.

B.     Perbuatan Berlanjut (Voortegezette Handeling)
            Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan syarat atau kriteria yang dikemukakan oleh MvT (Memorie van Toelichting) sebagai berikut:
1)      Harus ada keputusan  kehendak;
2)      Masing-masing perbuatan harus sejenis;
3)      Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
            mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
1)      Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang akan diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2)      Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
3)      Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal-pasal 364, 373, 379, dan 470 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari dua ratus lima puluh rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal-pasal 362, 372, 378, dan 406.[5]
Delik berlanjut apabila:
a.       Seseorang melakukan beberapa perbuatan;
b.      Perbuatan itu merupakan kejahatan atau pelanggaran sendiri;
c.       Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
            Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absrobsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
            Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasak 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.[6]

C.    Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Merdaadse Samenloop)
            Yang dimaksud dengan Concursus Realis adalah: ”apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan/atau pelanggaran terhadap kejahatan dan/atau pelanggara mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan”.[7]
Maka  dalam concursus realis terdapat:
a)      Seorang pembuat;
b)      Serentetan tindak pidana yang dilakukan olehnya;
c)      Tindak pidana itu tidak perlu sejenis atau berhubungan satu sama lain;
d)     Di antara tindak pidana itu tidak terdapat keputusan hakim.
            Dan sistem pemberatan pidana bagi concursus realis itu sendiri terdiri beberapa macam, yaitu:
1)      Kejahatan yang diancam  dengan hukuman pokok yang sejenis (pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam, yaitu dijatuhi satu pidana saja (ayat 1) dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum  pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiganya (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan  Firman melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara.

2)      Kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis (pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi diperlunak, artinya masing-masing kejahatan itu diterapkan; yakni kepada si pembuatnya dijatuhi pidana sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiganya (pasal 1). Apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana penjara atau kurungan, maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya kurungan pengganti denda (ayat 2). Contoh kasusnya, misalkan Firman melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
3)      Concursus realis berupa pelanggaran, penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni, yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun, jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4)      Concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 ayat (1) (penganiayaan terhadap hewan), Pasak 352 (penganiayaan ringan) , Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan), maka penjatuhan pidananya berlaku system kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
5)      Untuk concursus realis baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: ”jika seseorang setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.





KESIMPULAN

            Perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) adalah perbuatan seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur dalam beberapa ketentuan pidana. Hal ini terdapat pada KUHP Pasal 63-71. Yang dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu:
1)      Concursus idealis (pasal 63 KUHP)
2)      Perbuatan berlanjut (delik berlanjut Pasal 64 KUHP)
3)      Concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP)
      Concursus idealis adalah seseorang yang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
      Selanjutnya Perbutan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa  sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlajut.
      Concursus realis adalah seseorang yang melakukan beberapa perbuatan sekaligus. Apabila hukuman pokok sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan. Dan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka  setiap hukuman daring masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
      Ada empat macam system pemidanaanya, yaitu:
1)      Sistem absorbsi;
2)      Sistem kumulasi murni;
3)      Sistem absorbi dipertajam; dan
4)      Sistem kumulasi diperlunak.







DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami. 2009. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 2011. KUHP & KUHAP. Jakarta: PT Rineka Cipta.









[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009),hal.109.
[4] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),hal.179.
[5] Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011),hal.29.
 [6] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),hal.180.
[7] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),hal.186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar